“Wanita sholehah ialah, jika dipandang ia menyenangkan suaminya, jika diperintah dia taat dan jika (suaminya) keluar dia menjaga dirinya.” (HR. Abu Dawud no 1417)

Dalam bahtera rumah tangga, sosok suami adalah nahkoda dari bahtera yang berlabuh. Suamilah yang bertanggung jawab untuk menyelamatkan seluruh awak kapal, yaitu istri dan anak-anaknya dari terjangan ombak dan hadangan karang selama mengarungi samudera kehidupan, sampai bahtera itu mencapai pelabuhan abadi dalam keridhaan Alloh swt.

Dalam kehidupan nyata, seorang suami adalah pemimpin yang memiliki tugas mengatur dan mempertahankan keutuhan rumah tangga.

Dalam pengaturannya, seorang suami adalah pemimpin yang harus mampu mengarahkan seluruh anggota keluarganya agar tetap dalam bingkai rumah tangga Islami, dalam keutuhan nilai-nilai sam’an wa tho’atan (mendengar dan ta’at) kepada setiap perintah dan larangan Alloh swt, agar tidak terjerumus ke dalam murka-Nya. Dalam hal ini dapat kita gambarkan, bahwa seorang suami adalah tameng bagi anggota keluarganya yang sedang menuju ke jurang neraka. Bila ia mampu menahan mereka agar tidak jatuh ke dalamnya, maka ia dan seluruh anggota keluarganya akan selamat. Namun, jika ia tidak dapat menahannya, maka ia akan tercebur bersama seluruh anggota keluarganya ke dalamnya. Sedangkan tanggungjawab tersebut, seluruhnya ada pada dirinya, yang menyebabkan keluarganya masuk ke dalam jahannam. Na’udzubillah

Dalam mempertahankannya, seorang suami adalah laki-laki yang harus memperlakukan istrinya dengan baik, tidak suka memukul, memberikan nafkah, pakaian, dan memberikan seluruh kebutuhan istri sesuai dengan haknya. Rasululloh saw pernah ditanya tentang hak istri atas suami, maka beliau menjawab:

“Hendaklah engkau memberinya makan, jika engkau makan, memberinya pakaian jika engkau memakainya, dan janganlah pula engkau memukul wajahnya dan menjelek-jelekkannya dan jangan pula menjauhinya, kecuali di dalam rumah (tempat tidur).” (HR. Abu Dawud dengan sanad hasan)

Seorang suami yang taat kepada Robb-nya pasti akan senantiasa berusaha menjaga hak-hak istrinya dengan sempurna. Dalam kesabaran ia mendidik istrinya, dalam kasih sayang dia menjaga-nya dari bahaya, dalam tanggungjawab dia mencukupi kebutuhannya, dan dalam kesunyian ia selalu membisikkan kata-kata kepadanya, “Semoga Alloh menjadikanmu pendampingku di surga.”

Dari sini dapat kita katakana, bahwa sangatlah wajar bila seorang istri menunaikan hak-hak suaminya, dengan sebab-sebab yang telah disebutkan di atas. Namun, seandainya pun sang suami tidak dapat memenuhi hak istrinya secara sempurna, tidaklah berarti diwajarkan bagi seorang istri untuk mencampakkan hak-hak suaminya, karena di atas itu semua, ada kewajiban yang Alloh swt dan Rasul-Nya saw perintahkan kepada seorang istri untuk senantiasa taat kepada suaminya. Rasululloh saw bersabda:

“Sesungguhnya seorang istri belum (dikatakan) menunaikan kewajibannya terhadap Alloh, sehingga menunaikan kewajiban terhadap suaminya seluruh-nya.” (HR. Thabrani)

Oleh karena itu, maka hendaklah bagi seorang istri yang sholehah untuk dapat memfungsikan dirinya sebagai wanita yang selalu mengharap keridhaan suaminya.

“Tiap-tiap istri yang meninggal dan diridhai suaminya, maka ia akan masuk surga.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

1. Ridho Terhadap Pemberian Suami

 
Wajarlah bila sebuah rumah tangga mengalami “guncangan”. Karena, tidaklah mungkin sebuah bahtera yang berlayar melewati samudera yang luas dapat berjalan mulus dengan mudah, tanpa menghadapi gelombang ombak yang menghadang.

Guncangan, biasanya terjadi karena permasalahan ekonomi. Cobaan inilah yang sering dialami oleh sebuah keluarga. Maka, tidak sedikit bahtera-bahtera yang kandas di tengah jalan oleh hadangan gelombang ujian perekonomian ini.

Biasanya, kejadiannya bermula di saat sang suami tidak dapat memberikan nafkah yang cukup bagi keluarganya, atau bahkan sudah cukup, namun, sang istri selalu merasa kurang dengan nafkah yang diberikan, kemudian buntutnya, menuntut yang lebih dari suami, cek-cok, lalu…, bubar. Na’udzubillah

Melihat kejadian yang mengerikan di atas yang bukan kejadian satu-dua, tapi sudah banyak. Maka, dituntut kehati-hatian seorang istri di dalamnya. Karena, mengingat sabda Rasul saw:

“Telah diperlihatkan kepadaku neraka, di mana penghuninya yang terbanyak adalah wanita-wanita yang kufur.” Ditanyakan kepada beliau, “Ya Rasululloh! Apakah mereka kufur kepada Alloh?” Beliau menjawab, “Mereka mengingkari perbuatan baik suaminya. Sekiranya engkau berbuat baik kepada salah seorang dari mereka sepanjang tahun, kemudian ia melihat sesuatu (keburukan pada dirimu) ia berkata, “aku tidak pernah melihat kebaikan darimu”.” (HR. Bukhari)

Seorang istri yang cerdas, tentu tidak menginginkan menjadi bagian dari golongan wanita-wanita yang dikabarkan oleh Rasululloh saw dalam hadits tadi. Seorang istri yang sholehah akan selalu mencari keridhaan suaminya, dalam suka maupun duka.

Apabila suaminya pergi, dia tidak ditinggalkan, kecuali sudah memenuhi perbekalan suaminya, kemudian dia senantiasa berhusnudzon (berprasangka baik) terhadap suaminya, bahwa suaminya itu sedang bekerja mencari nafkah untuk dirinya, dia pun senantiasa mendo’akan suaminya pada saat kepergiannya. Lalu, ketika sang suami telah mendaratkan kakinya di rumah, dia menyambutnya dengan gembira, dengan senyuman yang hangat seraya berucap, “Alhamdulillah…,” Bila ia dapati suaminya mendapatkan hasil yang cukup, ia mensyukurinya dan bila tidak, maka ia pun tetap ridho terhadap suaminya. Walaupun menuntut, ia tidak memaksa, malah memberikan motivasi untuk tetap bersemangat. Karena ia menyadari, bahwa segala sesuatu yang didapatkan di dunia ini pada hakekatnya adalah Alloh swt yang memberikannya, bila berkehendak Dia memberi, jika tidak, maka tidak ada kuasa bagi seseorang untuk menolaknya.

Bersambung…