WANITA

blog ini berisi semua hal tentang wanita..,...


3. Memberi Senyuman Terindah

Rumah tangga adalah merupakan bentuk pemerintahan terkecil di dalam komunitas masyarakat, namun begitu, peranannya pun teramat vital bagi masyarakat itu sendiri, bahkan boleh jadi, suatu negara atau bangsa dimana pun tidak akan dapat tegak berdiri bila tidak ada peranan yang baik dari lembaga keluarga tersebut. Sebab, negara merupakan suatu batas yang dihuni oleh kumpulan masyarakat. Sedangkan masyarakat tidak akan baik atau berdiri dengan aman dan harmonis bila tidak didukung oleh peranan keluarga-keluarga yang bertanggungjawab.
Begitu pun dengan lembaga keluarga tersebut, mustahil akan serasi, tanpa terbentuknya keharmonisan anggotanya sendiri, minimal ada kecocokan antara suami dan istri. Maka, menjadi agenda penting yang harus menjadi prioritas bagi seorang istri maupun seorang suami adalah menciptakan rumah tangga yang harmonis dengan jalan membina kerukunan rumah tangga, yang dibangun di atas pondasi yang kuat, yaitu pondasi Islam.
Perumpamaan hidup berkeluarga dalam suatu rumah tangga ibarat seekor burung yang sedang terbang dengan kedua sayapnya ke suatu tempat yang dituju. Kedua sayapnya menggambarkan sepasang insan suami dan istri yang tengah berpacu saling membahu dalam mengarungi bahtera kehidupan. Sebagaimana burung yang tidak bisa terbang kalau salah satu sayapnya tak berfungsi, begitu pula halnya dengan kehidupan suami-istri. Tak akan pernah ditemui keharmonisan, hidup rukun, seiring-sejalan, kalau antar suami-istri tidak saling memahami unsur tabi’at dan kepribadian masing-masing.
Banyak ahli mengatakan, keharmonisan keluarga ditentukan jika banyak memiliki unsur persamaan. Seperti, kesamaan hobby, atau profesi. Ada pula yang beranggapan bahwa unsur kesamaan seperti itu bisa ditolerir, yang lebih penting lagi adalah saling pengertian.
Islam tentu memiliki konsep tersendiri yang tentunya lebih sempurna. Contoh konkrit adalah mengikuti jejak rumah tangga Rasululloh saw. Yang jelas, patokan rumah tangga muslim ideal tidak boleh melenceng dari program pokok hidup ini, yaitu saling melengkapi dalam beribadah kepada Alloh swt. Apa pun yang dilakukan, tetap dalam rangka itu, kesatuan langkah merealisasikan cita-cita hidup, bahu-membahu dalam mengemban amanah, demi meraih nilai tertinggi, yaitu ridha Alloh swt.
Wanita sebagai ibu rumah tangga yang baik, tidak terlalu banyak menuntut hal keduniaan di luar batas kemampuan suami. Sebaliknya jika keluarganya diberi karunia kelebihan rezeki, ia pemurah, bahkan mendorong suaminya untuk menyisihkan infaq khusus untuk kegiatan fi sabilillah, bukan malah mencegahnya.
Seorang istri mujahid atau mubaligh yang shalihah akan mengerti bila suaminya memiliki banyak jadwal kegiatan. Maka, dia dengan rela menerima dan menggembirakan tamu suaminya apabila suaminya itu dikunjungi oleh teman atau mad’unya. Ia pun harus maklum kalau suaminya sebagai pegawai Alloh swt itu (mubaligh) atau mujahid sering meninggalkannya, tak jarang pula terlambat pulang, karena memenuhi permintaan umat demi mencari muka kepada penguasa tertinggi, yaitu Alloh swt. Ia tak sempat berfirkir negatif, seperti ngomel, cemberut, mengeluh cemburu, jika suaminya pulang larut malam, karena dia telah pasrah sepenuhnya kepada Alloh swt.
Keberangkatan suami dilepas dengan senyum terindah, yaitu senyuman yang penuh dengan cinta dan keikhlasan, kedatangannya pun disambut dengan wajah ceria. Demikianlah gambaran wanita shalihah.
Memandangi suami dalam setiap siatuasi dan kondisi, menemaninya dalam riang dan gembira, menghibur dalam duka dan nestapa, menyenangkannya di saat sedih dan gelisah adalah merupakan kewajiban istri sebagai pendamping suami.
Jika seorang istri dapat berlaku terhadap suaminya seperti apa yang dipaparkan di atas, sehingga suaminya bertambah cinta dan sayang kepadanya dan merasa puas terhadap pelayanan istrinya, maka wajarlah dia memperoleh balasan yang setimpal.
Suatu hari, putra seorang sahabat Rasululloh saw, Abu Thalhah Ra terserang penyakit hingga meninggal dunia di pangkuan ibunya, yaitu Ummu Sulaim. Sementara Abu Thalhah sedang berada di luar rumah. Sang istri tidak segera memberi tahu Abu Thalhah tentang musibah yang baru dialaminya tersebut, karena dia tahu betul kalau suaminya tersebut amat sayangnya terhadap putranya itu dan mungkin akan merasakan kesedihan yang amat dalam bila mendengar putranya telah meninggal.
Ketika Abu Thalhah datang, Ummu Sulaim mendekatinya, kemudian menghidangkan makan malam buatannya. Abu Thalhah pun makan dan minum sepuasnya. Setelah itu Ummu Sulaim bersolek, hingga kelihatan lebih cantik dari hari-hari sebelumnya. Abu Thalhah sangat tertarik, lalu mengajaknya tidur bersama. Setelah selesai melakukannya, Ummu Sulaim mengajukan pertanyaan kepada Abu Thalhah, “Ya Aba Thalhah, bagaimana pendapatmu bila suatu kaum meminjamkan sesuatu kepada salah satu keluarga, lalu kaum itu memintanya kembali pinjaman tersebut. Bolehkah keluarga tadi melarangnya?” Abu Thalhah menjawab, “Tentu saja tidak boleh.”
“Kalau begitu, relakanlah anakmu yang telah diminta kembali oleh yang punya, Alloh swt.” Sambung istrinya.
Mendengar kata-kata istrinya Abu Thalhah sangat marah, lalu berkata, “Engkau biarkan aku kotor (junub) seperti ini, baru setelah itu engkau beritahu tentang keadaan anakku?”
Esok harinya Abu Thalhah Ra mendatangi Rasululloh saw dan mengabarkan tentang peristiwa malam itu.
Mendengar hal itu, Rasululloh saw bersabda, “Semoga Alloh swt memberkahi malam kamu berdua.” Benarlah, Alloh swt mengabulkan do’a penutup para nabi dan rasul ini. Alloh swt mengaruniakan putra sebagai pengganti putranya yang telah meninggal dunia itu. Ternyata, bukan Cuma seorang putra, tetapi Alloh swt telah mengaruniakan sembilan putra yang kesemuanya dapat menghafal Al-Qur’an Al-Karim.
Inilah saripati dari kesabaran. Kesabaran dari kesadaran akan kewajiban seorang istri shalihah untuk senantiasa memenuhi hak-hak suaminya, untuk selalu taat dan untuk selalu dapat memberikan kebahagian dan kesenangan kepada suaminya, baik di saat gembira maupun duka.
Rasululloh saw bersabda:
“Tiap-tiap istri yang meninggal dan diridhai suaminya, maka ia akan masuk surga.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

2. Memberi Kabar Gembira

Entah apa jadinya kota suci Mekkah saat ini bila tidak ada peranan seorang istri gubernur Dar’iyah yang mengajak suaminya untuk memenuhi ajakan dakwah Ahlussunnah yang dibawa oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahhab?
Memang, kita tidak menyangsikan akan adanya rencana dan kekuasaan Alloh swt, mungkin dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab akan berhasil melalui jalan lainnya, akan tetapi di sini, yang sedang kita lihat dan renungkan sekarang ini adalah tentang kemuliaan seorang istri sholehah yang berusaha untuk mengajak suaminya agar mendukung dakwah yang mulia itu.
Kisah ini terjadi sekitar dua ratus tahun lalu, ketika kota Hijaz masih dipenuhi oleh kebodohan yang pada akhirnya menciptakan berbagai lahan bid’ah dan khurafat. Di kota itu ada satu kuburan yang dianggap kuburan Zaid bin Khattab.
Masyarakat yang bodoh itu setiap harinya beramai-ramai mendatangi kuburan tersebut, menyembelih hewan di sisinya, dan mengambil keberkahan darinya. Di kuburan itu juga terdapat pohon kurma jantan yang selalu dikunjungi oleh wanita-wanita yang telat nikah, sambil mengatakan, “Wahai jantannya para jantan, kami menginginkan suami sebelum lewat satu tahun.”
Dalam kondisi yang mengkhawatirkan seperti itu, Alloh swt berkehendak merubahnya, Dia menakdirkan seorang imam (Muhammad bin Abdul Wahab) yang datang dari kota Ayinah untuk memerangi berbagai bentuk kesyirikan tersebut dan mengembalikan manusia kepada kitabulloh dan sunnah nabi yang di mulia di negeri yang mulia itu.
Namun, ada saja aral rintangan dakwah, orang yang tidak menyukai dakwah Imam meminta kepada gubernur di kota itu untuk membunuh Al-Imam, pada akhirnya gubernur itu tidak membunuhnya, akan tetapi dia mengusir beliau dari kota kelahirannya tersebut.
Tanpa berpikir panjang beliau pun pergi meninggalkan kota tersebut. Dengan berjalan kaki beliau menuju Dar’iyah dengan cahaya kebenaran yang diserukannya.
Di tempat baru tersebut beliau menemui seorang tokoh yang mulia, namanya Muhammad bin Suwailim Al-’Uraini. Ketika Ibnu Suwailim melihat Imam Muhammad bin Abdul Wahab, ia gemetaran karena rasa takut. Beliau berkata kepadanya untuk menenangkannya, “Bergembiralah dengan kebaikan, yang saya serukan kepada manusia ini adalah agama Alloh, dan Alloh pasti akan memenangkannya.!”
Gubernur Dar’iyah saat itu adalah Muhammad bin Sa’ud. Kedua saudara-saudara Gubernur yang masih bersih imannya, yaitu Tsunaiyan dan Musyawi mengetahui dengan kedatangan Al-Imam, mereka berdua berniat menolong dakwah yng diserukan oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahab.
Berangkatlah mereka berdua menuju istri saudara mereka, Gubernur Muhammad bin Sa’ud. Nama istri gubernur adalah Mudli bintih Wathyan. Kedua saudara itu berkata kepada istri gubernur yang sholehah ini, “Kabarkan kepada Muhammad keberadaan laki-laki ini (Imam Muhammad bin Abdul Wahhab), berilah dia motivasi agar menerima dakwahnya dan tumbuhkan semangatnya untuk mendukungnya serta memperkokoh dakwahnya.”
Ternyata, istri yang cerdas dan yang telah terpenuhi hatinya dengan cahaya iman ini mampu mengatur segala sesuatunya dengan baik. Tatkala suaminya Muhammad bin Sa’ud datang, ia segera menghampirinya seraya berkata, “Bergembiralah dengan datangnya keuntungan yang sangat besar.”
Alangkah indahnya perkataan itu. Demi Alloh, hati kaum laki-laki akan berbunga dan perasaannya akan terbang menerawang, hanya sekedar mendengar kata bergembiralah dari istrinya. Keuntungan macam apakah yang ia maksudkan? Apakah keuntungan hasil perdagangan? Tentu tidak, bahkan keuntungan perniagaan yang lebih besar dari itu.
Ia melanjutkan perkataannya, “Bergembiralah dengan datangnya keuntungan besar yang digiring oleh Alloh kepadamu, seorang da’i yang menyeru manusia kepada Alloh, kitab-Nya, dan sunnah rasul-Nya saw. Alangkah indahnya keuntungan itu, segeralah bergegas menerimanya dan mendukungnya. Jangan sekali-kali bersikap masa bodoh dalam hal tersebut.”
Alangkah besarnya perniagaan yang ditawarkan istrinya itu kepada suaminya tersebut. Seorang istri yang memiliki ketajaman akal, kefasihan lidah dan keberanian di dalam mengungkapkan kebenaran, sekalipun yang dihadapinya adalah suaminya, yang harus ia hormati dan taati. Namun, dia tidak mempersoalkan yang demikian, karena persoalan agama lebih utama, dan dia tidak mabuk kekuasaan, hingga melupakan para aktivis dakwah. Demi Alloh, ia telah memberi kabar gembira dengan datangnya keuntungan besar kepada suaminya yang suatu saat kelak akan dipetik di sisi-Nya.
Kemudian sang gubernur Muhammad bin Sa’ud pun memenuhi ajakan yang sangat mempesona itu secara spontan. Sang gubernur ingin meminta pendapat istrinya, “Apakah sebaiknya saya mengundangnya, atau saya pergi menemuinya?”
Ajakan sang gubernu pada istrinya untuk bermusyawarah itu sebagai bukti, bahwa ia memperhatikan pendapat sang istri. Ini merupakan bangunan rumah tangga yang kokoh. Bangunan yang didirikan atas landasan kecintaan dan saling memahami.
Saling memahami antara suami dan istri di bawah naungan syari’at Alloh swt. Sang suami meminta pendapat sang istri, dan sang istri meminta pendapat sang suami demi kemaslahatan mereka bersama. Inilah kebahagiaan hidup rumah tangga yang sering diidam-idamkan.
Alangkah indahnya hidup berumah tangga seperti itu, istri gubernur ini benar-benar mengumandangkan kebenaran di dalam menyampaikan pendapatnya kepada suaminya sebagai wujud baktinya untuk agama ini dan juga sebagai rasa kasih sayang dia kepada suami. Karena istri yang shalihah akan selalu memotivasi suaminya agar berada di jalur kebaikan, mencintai para ulama, dan selalu menghadiri majelis-majelis kemuliaan yang berisikan warisan-warisan Rasululloh saw di dalamnya. Bukan sebaliknya, membiarkan suami bergelimang di dalam dosa dan kemaksiatan yang nantinya hanya akan berujung di neraka. Na’udzubillah.
Demikian itulah hasil dari motivasi yang diberikan oleh binti Wadhyan kepada suaminya. Dan sang gubernur pun menyambutnya.
Berkat karunia Alloh swt dakwah Islam tersebar luas hingga sampai ke negera Syam melalui seorang Imam kaum muslimin, Muhammad bin Abdul Wahhab. Namun di balik itu semua, cahaya kebenaran itu muncul kembali melalui seorang istri yang selalu menghendaki kebaikan bagi suaminya dengan memberikan kabar gembira akan adanya keuntungan yang besar di sisi Alloh swt.
Berilah kabar gembira kepada suamimu dengan jannah Alloh swt.

“Wanita sholehah ialah, jika dipandang ia menyenangkan suaminya, jika diperintah dia taat dan jika (suaminya) keluar dia menjaga dirinya.” (HR. Abu Dawud no 1417)

Dalam bahtera rumah tangga, sosok suami adalah nahkoda dari bahtera yang berlabuh. Suamilah yang bertanggung jawab untuk menyelamatkan seluruh awak kapal, yaitu istri dan anak-anaknya dari terjangan ombak dan hadangan karang selama mengarungi samudera kehidupan, sampai bahtera itu mencapai pelabuhan abadi dalam keridhaan Alloh swt.

Dalam kehidupan nyata, seorang suami adalah pemimpin yang memiliki tugas mengatur dan mempertahankan keutuhan rumah tangga.

Dalam pengaturannya, seorang suami adalah pemimpin yang harus mampu mengarahkan seluruh anggota keluarganya agar tetap dalam bingkai rumah tangga Islami, dalam keutuhan nilai-nilai sam’an wa tho’atan (mendengar dan ta’at) kepada setiap perintah dan larangan Alloh swt, agar tidak terjerumus ke dalam murka-Nya. Dalam hal ini dapat kita gambarkan, bahwa seorang suami adalah tameng bagi anggota keluarganya yang sedang menuju ke jurang neraka. Bila ia mampu menahan mereka agar tidak jatuh ke dalamnya, maka ia dan seluruh anggota keluarganya akan selamat. Namun, jika ia tidak dapat menahannya, maka ia akan tercebur bersama seluruh anggota keluarganya ke dalamnya. Sedangkan tanggungjawab tersebut, seluruhnya ada pada dirinya, yang menyebabkan keluarganya masuk ke dalam jahannam. Na’udzubillah

Dalam mempertahankannya, seorang suami adalah laki-laki yang harus memperlakukan istrinya dengan baik, tidak suka memukul, memberikan nafkah, pakaian, dan memberikan seluruh kebutuhan istri sesuai dengan haknya. Rasululloh saw pernah ditanya tentang hak istri atas suami, maka beliau menjawab:

“Hendaklah engkau memberinya makan, jika engkau makan, memberinya pakaian jika engkau memakainya, dan janganlah pula engkau memukul wajahnya dan menjelek-jelekkannya dan jangan pula menjauhinya, kecuali di dalam rumah (tempat tidur).” (HR. Abu Dawud dengan sanad hasan)

Seorang suami yang taat kepada Robb-nya pasti akan senantiasa berusaha menjaga hak-hak istrinya dengan sempurna. Dalam kesabaran ia mendidik istrinya, dalam kasih sayang dia menjaga-nya dari bahaya, dalam tanggungjawab dia mencukupi kebutuhannya, dan dalam kesunyian ia selalu membisikkan kata-kata kepadanya, “Semoga Alloh menjadikanmu pendampingku di surga.”

Dari sini dapat kita katakana, bahwa sangatlah wajar bila seorang istri menunaikan hak-hak suaminya, dengan sebab-sebab yang telah disebutkan di atas. Namun, seandainya pun sang suami tidak dapat memenuhi hak istrinya secara sempurna, tidaklah berarti diwajarkan bagi seorang istri untuk mencampakkan hak-hak suaminya, karena di atas itu semua, ada kewajiban yang Alloh swt dan Rasul-Nya saw perintahkan kepada seorang istri untuk senantiasa taat kepada suaminya. Rasululloh saw bersabda:

“Sesungguhnya seorang istri belum (dikatakan) menunaikan kewajibannya terhadap Alloh, sehingga menunaikan kewajiban terhadap suaminya seluruh-nya.” (HR. Thabrani)

Oleh karena itu, maka hendaklah bagi seorang istri yang sholehah untuk dapat memfungsikan dirinya sebagai wanita yang selalu mengharap keridhaan suaminya.

“Tiap-tiap istri yang meninggal dan diridhai suaminya, maka ia akan masuk surga.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

1. Ridho Terhadap Pemberian Suami

 
Wajarlah bila sebuah rumah tangga mengalami “guncangan”. Karena, tidaklah mungkin sebuah bahtera yang berlayar melewati samudera yang luas dapat berjalan mulus dengan mudah, tanpa menghadapi gelombang ombak yang menghadang.

Guncangan, biasanya terjadi karena permasalahan ekonomi. Cobaan inilah yang sering dialami oleh sebuah keluarga. Maka, tidak sedikit bahtera-bahtera yang kandas di tengah jalan oleh hadangan gelombang ujian perekonomian ini.

Biasanya, kejadiannya bermula di saat sang suami tidak dapat memberikan nafkah yang cukup bagi keluarganya, atau bahkan sudah cukup, namun, sang istri selalu merasa kurang dengan nafkah yang diberikan, kemudian buntutnya, menuntut yang lebih dari suami, cek-cok, lalu…, bubar. Na’udzubillah

Melihat kejadian yang mengerikan di atas yang bukan kejadian satu-dua, tapi sudah banyak. Maka, dituntut kehati-hatian seorang istri di dalamnya. Karena, mengingat sabda Rasul saw:

“Telah diperlihatkan kepadaku neraka, di mana penghuninya yang terbanyak adalah wanita-wanita yang kufur.” Ditanyakan kepada beliau, “Ya Rasululloh! Apakah mereka kufur kepada Alloh?” Beliau menjawab, “Mereka mengingkari perbuatan baik suaminya. Sekiranya engkau berbuat baik kepada salah seorang dari mereka sepanjang tahun, kemudian ia melihat sesuatu (keburukan pada dirimu) ia berkata, “aku tidak pernah melihat kebaikan darimu”.” (HR. Bukhari)

Seorang istri yang cerdas, tentu tidak menginginkan menjadi bagian dari golongan wanita-wanita yang dikabarkan oleh Rasululloh saw dalam hadits tadi. Seorang istri yang sholehah akan selalu mencari keridhaan suaminya, dalam suka maupun duka.

Apabila suaminya pergi, dia tidak ditinggalkan, kecuali sudah memenuhi perbekalan suaminya, kemudian dia senantiasa berhusnudzon (berprasangka baik) terhadap suaminya, bahwa suaminya itu sedang bekerja mencari nafkah untuk dirinya, dia pun senantiasa mendo’akan suaminya pada saat kepergiannya. Lalu, ketika sang suami telah mendaratkan kakinya di rumah, dia menyambutnya dengan gembira, dengan senyuman yang hangat seraya berucap, “Alhamdulillah…,” Bila ia dapati suaminya mendapatkan hasil yang cukup, ia mensyukurinya dan bila tidak, maka ia pun tetap ridho terhadap suaminya. Walaupun menuntut, ia tidak memaksa, malah memberikan motivasi untuk tetap bersemangat. Karena ia menyadari, bahwa segala sesuatu yang didapatkan di dunia ini pada hakekatnya adalah Alloh swt yang memberikannya, bila berkehendak Dia memberi, jika tidak, maka tidak ada kuasa bagi seseorang untuk menolaknya.

Bersambung…